PAT/UJIAN SEMESTER : Akan dilaksanakan pada tanggal 6 - 11 Juni 2022 dengan tetap mengikuti protokol kesehatan/menjaga jarak. PELANTIKAN : Pengurus OSIS 2022 masih menunggu konfirmasi.

Juli 05, 2011

SEPUTAR PROFESI GURU

Rabu, 12 Januari 2011 | 21:25:25 WITA | 279 HITS
Sumber : http://www.fajar.co.id/
Ketua Dewan Kehormatan Guru, PGRI, Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro
Pemda Wajib Lindungi Tugas Profesi Guru


GURU seharusnya menjadi salah satu aset dan investasi yang paling berharga di belahan dunia mana pun. Namun di Indonesia, perlakuan dan apresiasi terhadap kaum pengajar belum sesuai dengan harapan. Hampir setiap saat, kasus guru yang dilaporkan karena dugaan kekerasan terhadap anak ajarnya menghiasi pemberitaan di media, utamanya sejak hak asasi manusia dikampanyekan secara massif. Padahal, hukuman fisik tidak seharusnya sampai dipidanakan.

Guru juga kerap diseret ke ranah politik untuk menambah suara calon kepala daerah. Jika tidak sehaluan dengan sang kandidat, maka guru yang bersangkutan harus siap-siap dilempar ke daerah terpencil kalau si kandidat yang terpilih. Belum lagi dengan persoalan kesejahteraan pahlawan tanpa tanda jasa ini.

Atas masalah-masalah ini dan juga dorongan dari UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun membentuk Dewan Kehormatan Guru. Bagaimana dewan kehormatan guru ini bisa mengatasi masalah di dunia guru?

Simak wawancara khusus Ketua Dewan Kehormatan Guru yang juga Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro dengan wartawan Fajar Akbar Hamdan, di Redaksi Fajar belum lama ini.

Apa sebenarnya tugas Dewan Kehormatan Guru itu?

Itu sebenarnya lembaga yang merumuskan kode etik guru. Kode etik adalah tindak tanduk guru di dalam kelas dan di luar kelas. Sekarang yang sedang kita tangani adalah guru yang memakai tangan dalam mendidik. Menempeleng atau mencubit. Mereka itu kan sering dilapor ke berwajib oleh para orangtua.

Kalau nempelengnya baru sekali, dan anaknya memang nakal, itu benar dari segi pendidikan. Tapi kalau gurunya selingkuh, ya, itu baru masuk pidana.

Makanya kita akan bicara dengan aparat, agar dipilah-pilah mana hukuman fisik yang masuk pidana, mana yang bisa kita proses di dewan kehormatan guru.

Fungsinya itu sama seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Mereka pasti protes kalau polisi tangkap dokter yang pasiennya meninggal habis operasi. Mereka (IDI) pasti akan katakan (operasi) itu sudah sesuai dengan kode etik kedokteran, umpamanya. Kita juga akan begitu.

Hukuman fisik kan sering mendapat sorotan karena dinilai melanggar hak asasi manusia. Apakah PGRI tidak khawatir ditentang oleh aktivis HAM?

Boleh saja mereka menentang. Kalau mau adil, tangkap juga dong dokter. Itu (sampai menyebabkan) mati lho.

Jadi, dewan kehormatan nantinya yang akan menentukan hukuman fisik yang pantas dan yang tidak pantas diterapkan oleh seorang guru?

Makanya diperiksa dulu. Kita lihat intensitas hukuman fisiknya. Apakah sekali atau dua kali sebulan. Kalau dianggap melanggar kode etik, tentu gurunya akan ditegur atau diskorsing. Bukan ditahan oleh polisi. Ini baru kita godok.

Apalagi yang akan menjadi perhatian dewan kehormatan guru?

Dalam undang-undang jelas disebutkan bahwa pemda harus melindungi guru dalam menjalankan profesinya. Tapi kenyataannya kan tidak seperti itu. Coba lihat banyak guru yang dipindah karena ketahuan tidak berpihak kepada bupatinya saat pemilihan. Banyak kasus yang begitu. 

Itu sangat melecehkan guru. Tidak boleh begitu dong. Guru itu harus dilihat dari profesinya.

Jadi, kita akan usulkan kepada pemerintah agar penempatan guru dikembalikan kepada pusat lagi. Supaya tidak ada lagi masalah seperti itu. Biar bupati tidak punya kekuatan lagi mengatur-atur penempatan guru.

Oh ya, masih ada lagi. Kode etik yang paling susah itu adalah guru mengajar, tapi tidak sesuai dengan yang dia peroleh dari IKIP. Itu yang lebih susah lagi membuktikannya.

Bagaimana dengan kualitas SDM guru kita?

Jadi begini, dengan adanya UU No 14 Tahun 2005, kualitas dan kompetensi guru sekarang semakin ditingkatkan. Dulu kan begitu lulus dari IKIP, sudah jadi guru. Sekarang adalah profesi yang jadi ukurannya. Harus S1. Sekarang sudah dalam taraf sertifikasi sebanyak 2,4 juta guru. Tapi memang baru 40 persen yang selesai (sertifikasi).

Tapi mudah-mudahan semuanya bisa selesai pada 2015. Pemerintah memang harus kerja keras agar sertifikasi selesai sesuai harapan.

Dalam hal ini, pemda juga harus ikut membantu. Dalam undang-undang kan ada disebutkan (pemerintah membantu sertifikasi guru) itu. Harus ada beasiswa untuk membantu guru mencapai gelar S1nya.

Soal dewan kehormatan guru tadi, apakah hanya guru yang tergabung dalam PGRI saja yang akan diperhatikan?

Kita kan melihat profesinya. Jadi kita terbuka kepada siapa saja. Sekarang kan sudah ada 16 organisasi guru.

Bagaimana penilaian Anda tentang dunia pendidikan kita?

Soal itu, tanya menteri (pendidikan) saja deh. Soalnya saya sudah tidak jadi menteri lagi. Kalian wartawan kan lebih tahu bagaimana kondisi sekarang.

Sejauh mana upaya PGRI dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan guru?

Saya sering katakan, anggota PGRI sekarang ini harus berbangga. PGRI sudah melalui zaman revolusi, zaman liberalnya Bung Karno, zaman demokrasi terpimpin, dan sekarang zaman dimulainya demokrasi pemilihan langsung. Jadi seharusnya bangga. Kita sekarang sudah sangat besar. Kita melaksanakan semua proses-proses dengan teratur tiap tahun. Tapi yang penting, kita terus memperjuangkan nasib guru.

Contohnya saja, pada zamannya pak Bambang (Menteri Pendidikan), ada dibuat Dirjen PMPTK. Tapi oleh menteri baru dihapus. PGRI keberatan dan kemudian demo besar-besaran. Akhirnya (PMPTK) sekarang dikembalikan tapi sudah berubah nama. Yang penting ada lah.

Yang lain misalnya, kita mendesak pemerintah agar tunjangan-tunjangan tepat waktu. Sertifikasi supaya dipercepat.

Terakhir, apa harapan Anda untuk perbaikan pendidikan terutama guru ke depan?

Jadi pesan saya, di zaman saya, guru itu sering dicemooh oleh masyarakat. Bukan salah masyarakat, tapi keadaan. Tapi mudah-mudahan dengan adanya undang-undang guru dan dosen dan usaha mengisinya, diharapkan mutu guru naik, bersamaan dengan naiknya martabat guru. Kalau mutu dan martabat guru naik, itu artinya pemerintah dengan rela harus memberi gaji tinggi. 12 tahun lagi nasib guru di Indonesia akan lebih bagus.

Saya juga berharap pemerintah benar-benar komitmen mengalokasikan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Pejabat harus peduli dengan pendidikan. Supaya tidak ada lagi sekolah-sekolah yang bobrok. (*)


* AKBAR HAMDAN/FAJAR

Penerimaan Peserta Didik Baru 2022